Liburan akhir tahun kali ini, aku
habiskan di Bali bersama keluarga besarku. Jujur, sebenarnya males banget liburan bareng keluarga, aku
lebih suka ngabisin liburan bareng temen-temen. Tapi… berhubung yang ini
liburan keluarga besar, artinya semua keluargaku tuh pasti ngumpul. Itu berarti ada Kak Lingga
anaknya Om Bram yang ganteng abis. Huahaha. So,
alesanku rela menghambiskan waktu liburan bareng keluarga karena ada Kak
Lingga, selebihnya males banget deh.
Yang
lebih bikin males lagi adalah semuanya selalu mengatakan, “Ehhh, Kiran udah
gede yaaaa?” saat bertemu denganku. Yaiyalah, emangnya aku nggak tumbuh-tumbuh
apa? Bikin keki aja. Ketika semuanya berkata seperti itu, aku cuma bisa
tersenyum lebar.
Loh?
Loh? Kak Lingga sama siapa? Kok
bareng cewek? Nyebelin, masa iya itu ceweknya? Emang sih, cantik. Tunggu, belum
tentu kan itu ceweknya Kak Lingga? Aku menggeleng keras. Tapi kan, ini acara
keluarga gitu loh, kalau cowok udah bawa cewek di acara keluarganya itu kan kemungkinan besar
kalau cewek itu adalah pacarnya. Iya kan?!
“Hai,
Kina!” Oh God, senyum Kak Lingga
selalu menawan di mataku. Coba aja dia bukan saudara
gue, udah gue kejer dari dulu deh. Kulirik tangan Kak Lingga yang menggenggam tangan cewek
itu. Tuh kannn...!
“Ini
siapa, Kak?” tanyaku dengan nada sinis yang nggak bisa disembunyiin.
Kak
Lingga tersenyum cerah, dia semakin mempererat genggaman tangannya pada cewek
itu. Dan dia terkekeh. “Oh, ini Karin. Cewek gue,
kenalin dong!”
Rasanya mau lompat dari villa
ini, berhubung villa ini mengambang di atas laut. Rasanya mau balik aja ke Jakarta. Kalau Kak Lingga bawa ceweknya kesini,
itu berarti liburan kali ini bakalan suram. Otomatis, Kak Lingga bakalan sering ngabisin waktunya sama
Karin. Dan aku bakalan sendirian, nggak ada temen yang bakalan ngajak main,
ngajak jalan di Bali. Kalau gabung sama Om dan
Tante sih males banget, mereka semua pada bawel, apalagi Mamah dan Papah. Argh!
555
Dugaanku
nggak pernah salah. Yeah, Kak Lingga
lagi keluar nggak tau kemana sama Karin. Aku melirik ke sekeliling halaman
villa, semuanya tampak menikmati liburan kali ini. Sebenernya ada sekitar lima
orang sepupu cewek yang umurnya sepantaran denganku, tapi aku nggak suka sama
mereka, mereka terlalu heboh dan cerewet, bikin kupingku terasa pengang.
“Mah, balik
ke Jakarta kapan sih?” tanyaku begitu Mamah duduk di sampingku. Mamah sedang melihat-lihat
foto di kameranya sambil senyam-senyum sendiri. “Maaah?!”
“Apaan
sih?”
“Balik ke Jakarta kapan? Udah bosen nih!”
“Kamu nih, ini tuh di Bali,
kayaknya kamu satu-satunya orang yang nggak nikmatin liburan di Bali. Ini Bali,
Kina!” Mamah menatapku heran. “Kamu kan bisa minta anterin Pak Min kemana kek,
ke pantai kek, di sini kan pantai banyak. Atau kamu belanja gih sana!”
Aku kurang suka kalau pergi harus dianter-anter. “Ya tapi kan–”
Mamah langsung berdiri dan ngeloyor pergi, kembali memotret suasana halaman villa
yang ramai dengan keluarga besarku ini. Aku mendengus kesal. Bete.
555
“Pak,
pokoknya jangan bilang ke Mamah kalo aku ke sini ya?” Aku membuka sabuk pengaman
dan bergegas turun dari mobil. Yeah,
pantai, Im coming!
“Siap,
Non!”
“O iya,
Bapak nggak usah nungguin aku. Bapak balik aja ke hotel, nanti kalo aku udah
selesai, aku bakal telpon Bapak buat jemput di sini ya?”
“Beresss!”
Aku
mengangguk sambil tersenyum puas. Dan aku pun langsung membuka pintu mobil dan
keluar dari dalam mobil. Huaaa, angin sepoi langsung menerpa wajahku, terasa
sangat hangat. Hemmm, pasti banyak bule yang kece! Aku langsung berlari mendekati pantai.
Pasir-pasir pantai terasa lembut di kaki. Akhirnya, aku bisa bebas dari
keluargaku yang bikin aku bosen setengah mati itu. Dan untungnya Pak Min mau
diajak berkompromi.
Aku
mendudukkan diri di pasir pantai dan memandangi pemandangan pantai hari ini. Banyak orang yang berselancar, menaiki banana boat, anak-anak kecil membuat
istana pasir dan sebagainya.
Mendadak
pasir-pasir pantai menyapu wajahku. Aku langsung menutupi wajahku dengan kedua
tangan. “Apaan sih nih?!” Aku pun menyingkirkan kedua tangan dari wajahku dan
melihat seorang cowok sedang menggelar tikar sampai pasir-pasir itu
beterbangan. “Woy! Pasirnya kena mata gue nih!”
Cowok itu
tampak acuh. Kali
ini dia sedang merapihkan tikar yang tadi digelar. Lalu dia pun duduk di atas
tikar sambil meluruskan kakinya. Ih,
ngeselin banget sih! Bukannya minta maaf malah diem aja!
Aku pun mendengus kesal. Sok ganteng, sok keren, sok kece! Kulihat dia
membuka kacamata hitamnya dan menoleh ke arahku. Ya ya ya, dia emang keren!
Tapi… tetep aja nyebelin. “Apa?”
“Tiker lo bikin mata gue kelilipan,
tau!”
Cowok
itu cuma manggut-manggut dan kembali mengenakan kacamata hitamnya. Sumpah deh, gayanya kayak nggak ada salah
banget, bukannya minta maaf kek, apa kek, terserah kek, yang jelas nggak usah
belaga sok nggak punya salah gitu dong!
Tukan tattoo
keliling tiba-tiba lewat di depan kami. Aku merasa tertarik dan langsung
berseru memanggilnya dan tukang tattoo keliling itu pun menghampiriku. “Bang,
mau liat sempel tattoonya dong.”
Tukang tattoo itu pun langsung
memberikan buku yang berisi sempel tattoo.
Aku hendak mengambilnya tapi cowok itu lebih dulu sudah mengambilnya. “Kok lo
main rebut gitu aja sih?! Kan gue dulu yang mau liat!”
“Siapa cepat dia dapat.” kata
cowok itu dengan cuek. Dia membuka kacamata hitamnya dan tersenyum jail.
Aku
mendengus kesal. “Cari aja tukang tattoo yang lain!” Aku mencoba merebut
buku sempel tattoo yang ada di tangan
cowok itu. Tapi nggak berhasil. Aku makin mendengus kesal. Makin bete aja
liburan kali ini. Ketemu sama cowok yang ganteng tapi nyebelin setengah mati.
555
Duh, mana
sih?! Aku berjalan meninggalkan pantai sambil terus merogoh-rogoh tasku. Barang
yang aku cari daritadi nggak juga ketemu. Aku pun duduk di salah satu kursi di
pinggir jalan dan langsung menumpahkan semua isi tasku. Dengan saksama dan
teliti aku mencari ponselku.
“Mana sih?
Kok nggak ada? Jangan bilang kalo gue nggak bawa hape?” Aku menepuk jidatku
dengan keras. “Ya ampun! Terus gimana gue nelpon Pak Min? Duh, wartel mana
wartel?!” Dengan panik aku mengedarkan pandangan ke sekeliling jalan, nggak ada
wartel. “Ya ampun! Gue juga mana apal nomor hape Pak Min! Mamah-Papah? Gila!
Gue kan juga nggak apal nomor hape mereka! Terus gue gimana?”
“Taksi!
Taksi!” Aku buru-buru memasukkan barang-barangku ke dalam tas dan langsung
beranjak masuk ke dalam taksi. “Pak, bisa anterin saya kan?”
“Pak,
jalan Garuda ya!”
Dalam waktu bersamaan aku dan
seseorang berbicara. Aku menoleh ke samping dan tersentak kaget saat melihat
cowok rese yang ada di pantai tadi kini setaksi denganku. “Lo ngapain di sini?!”
Cowok itu cuek aja. “Jalan Garuda ya, Pak.”
“Nggak
bisa! Gue duluan!” Aku melotot tajam ke arah cowok itu. “Pak, anterin saya ke
hotel.”
“Hotel apa
ya?” tanya sopir taksi itu dengan ramah.
Hah? “Hmm…
hotel…” Duh, hotel apa ya? Gue nggak
inget lagi nama hotelnya. Gimana nih? Kacau!
“Pak,
Jalan Garuda. Cepet ya!” Cowok itu beralih padaku. “Dan lo, cepet turun dari sini!”
Melihatku yang cengo, dia melambai-lambaikan telapak tangannya di depan wajahku
dan tampangnya nyolot banget. “Helooo? Lo denger gue kan?! Cepet turun!”
Aku diam aja. Nggak peduli sama cowok nyebelin
itu. Yang aku pikirin sekarang adalah gimana
caranya gue balik ke hotel?
“Terserah lo deh. Jalan
Garuda, Pak.”
Taksi
pun melaju menuju Jalan Garuda.
555
Dengan panik aku mengarahkan pandangan keluar
jendela. Daerah mana nih? Aku nggak tahu. Waduh, bener-bener udah nyasar nih.
Sesekali aku menoleh ke samping. Cowok itu mengeluarkan sesuatu dari saku
celana jinsnya. Dompet. “Stop, Pak!” Taksi pun berhenti. Dia pun mengeluarkan
sejumlah uang yang sesuai dengan tarif.
Aku
celingukan bingung.
Cowok itu
pun membuka pintu taksi dan keluar. Begitu taksi melaju kembali aku langsung
tersadar. “Stop, Pak! Stop!” Taksi berhenti dan aku langsung keluar dari taksi.
Aku bernafas lega begitu cowok itu masih ada. Apa iya gue harus minta bantuan dia? Duh, gengsi banget kan pastinya?
Diam-diam aku berjalan mengikutinya dari belakang.
Cowok itu
tiba-tiba berhenti di depan sebuah rumah cukup besar bergaya modern minimalis.
Aku pun juga ikut menghentikan langkah. Dan cowok itu langsung berbalik badan
dan mengernyitkan kening, heran.
“Ngapain
lo berhenti?”
Dia
mengangkat kedua alisnya. “Ngapain? Harusnya gue yang nanya, ngapain lo
ngikutin gue?!”
“Eng…
gini…” Aku menggaruk-garuk kepala sambil bergumam. “Gue nggak bawa hape.”
“Oh, lo
mau minjem hape gue?”
“Bukan…
Gue…” Dia menatapku dengan tatapan heran. Bikin aku makin gengsi buat ngomong
ke dia kalau aku tersesat. “Gue nyasar.” kataku dengan pelan.
“Apa?”
“Gue
nyasar!”
Dan dalam
sekejap cowok itu langsung ketawa ngakak. Nyebelin! Dia berusaha menghentikan
tawanya, tapi nggak bisa. “Aduh… Lo itu… Huahahaha!” Dia memegangi perutnya.
“Di negara sendiri aja lo bisa nyasar, gimana sih?”
“Udah deh,
nggak usah ketawa.”
“Terus
urusan gue apa kalo lo nyasar?” tanyanya dengan nada nyolot.
555
“Gimana
sih lo? Nomor hape bokap-nyokap lo aja nggak apal? Makanya apalin dong, apa
otak lo nggak cukup mampu buat nginget nomor hape mereka? Kalo gini kan lo jadi
ribet sendiri. Parahnya lagi masa lo nggak inget sih hotel tempat lo sama
keluarga lo nginep?!” Dia menoleh ke arahku dengan wajah kesal.
Aku
menggeleng polos.
“Bikin susah
aja. Harusnya sekarang ini gue lagi istirahat! Dan karena lo nyasar…”
“Lo niat
bantuin gue nggak sih?!”
555
“Heh!
Pelan-pelan dong jalannya! Capek nih!” Aku menghentikan langkahku sejenak
sambil membungkukan tubuh, mengatur nafas. Kulihat cowok itu sudah berjalan
jauh dariku. “Woy!!!”
Cowok itu
pun akhirnya berhenti dan berjalan menghampiriku. “Lo kira cuma lo doang yang
capek? Gue juga kali! Udah ayo cepet, jangan manja deh!” Dia langsung menarik
tanganku dan kembali melangkah menyusuri jalan.
Duh, pake
acara laper segala lagi. “Eh, lo laper nggak? Kita istirahat dulu yuk! Laper
nih!” Aku mengusap-usap perutku yang daritadi sudah bunyi keroncongan.
Dia
menatapku kesal tapi akhirnya dia menuruti juga kemauanku. Kami pun memasuki
salah satu kedai yang menjual makanan laut di pinggir jalan dan duduk pojok
ruangan, karena hanya itu satu-satunya tempat yang tersisa.
Kami makan
dengan lahap, sibuk dengan makanan masing-masing. Aku memesan banyak menu.
Mulai dari ikan bakar, udang goreng tepung, cumi saos padang, dan masih banyak
lagi. Yang jelas aku benar-benar lapar banget. Cowok itu dengan heran menatapku
dengan tatapan nggak nyangka dengan kerakusanku.
Aku bodo
amat dan terus melahap makananku.
Mampus, kok duit gue tinggal ceban sih?
Teruuuuusss, gimana bayar makanan yang udah gue makan tadi? Gimana dong?
Aku melirik cowok itu dan tersenyum manis. “Ehmmm, kita emang saling nggak
kenal dan gue udah banyak ngerepotin lo, tapi gue janji bakal ganti semuanya
nanti kalo gue udah ketemu sama keluarga gue. Buat sekarang, uang gue tinggal…”
Cowok itu
menghela nafas dengan berat. “Kalo ketemu kan? Kalo enggak?”
“Maaf ya,
maaf.”
Dan cowok
itu hanya tersenyum simpul.
555
Ternyata
cowok itu nggak sebegitu nyebelin kayak yang aku kira. Dia nggak jahat, dia
orang baik. Buktinya dia mau menolongku. Aku benar-benar berterimakasih
kepadanya. Yah, meskipun dia masih suka ketus denganku. Tapi sekarang ini dia
jadi lebih sering ketawa saat aku mengeluh terus-terusan.
“Gue baru
ketemu orang kayak lo. Hemmm, kok lo mau bantuin gue sih? Padahal kan gue
nyebelin.”
“Lo ngaku
juga akhirnya.” Dia tertawa pelan. “Kalo lo emang nyebelin.”
Aku
mendengus pelan.
“Ya, gue
cuma mau ngebantu aja. Kenapa enggak?”
Aku
manggut-manggut. “Makasih ya.”
Dia
bergumam dan lalu dia tersenyum.
Wah wah,
kalau dia tersenyum dia manis juga. He-he-he.
555
Kami
berdua pun turun dari taksi begitu tiba kembali di pantai yang tadi kami
kunjungi. Dia berpikir secara logis, nggak mungkin kalau orangtuaku nggak
khawatir denganku. Dan dia bilang, pasti sekarang ini orangtuaku sedang
menungguku di pantai. Bingo! Dia memang benar.
“Lo punya
indera keenam ya?” tanyaku dengan pelan. Mamah dan Papah langsung berlari
menghampiriku saat melihatku kembali di pantai. Mereka tampak cemas.
Cowok itu
tersenyum lepas. “Just guees.”
“Kina!
Kamu kemana aja sih?! Kamu tuh ya, bikin kita khawatir tau nggak?! Kalau mau
pergi kamu bilang dulu dong ke Mamah atau Papah! Kamu bisa-bisanya ya main
pergi gitu aja? Pak Min juga–“
“Mah, ini
orang yang nolong aku pas aku nyasar tadi.”
“Nyasar?!”
“Emm,
nanti aja ya aku ceritanya?”
“Duh,
makasih banget loh, Nak.” Papah menepuk bahu cowok itu sambil tersenyum ramah.
“Kamu mau mampir dulu ke hotel kami? Atau biar saya antar ke rumah kamu? Mau?”
“Nggak
usah, Om. Makasih. Saya pulang naik taksi aja.”
555
Makasih
banget buat… Duh, aku emang pelupa! Siapa namanya? Kok bisa sih aku lupa
kenalan sama dia? Dan ya ampun! Harusnya tadi aku sekalian minta uang ke Papah
buat gantiin uang yang udah dia keluarin buat aku tadi. Aku emang pelupa!
555
Liburan
sudah selesai dan aku mau nggak mau harus kembali sibuk sekolah dan tugas-tugas
yang akan menumpuk tiap harinya. Dan asal kalian tahu, sejak bertemu cowok itu
aku terus kepikiran sama dia yang nggak aku tahu namanya. Aku belum membalas
semua kebaikannya dan belum mengganti uangnya. Coba aja kalau aku ketemu dia
lagi. Sayangnya dia tinggal di Bali.
“Kin,
gimana liburan lo di Bali?”
“Gue
nyasar.”
“Lah? Kok
bisa?!” tanya Gia dan Maureen serempak. Nggak usah sekaget itu juga kali.
Bel masuk
tiba-tiba aja berbunyi. Murid-murid yang masih berada di luar langsung
berlarian masuk ke dalam kelas. Tapi aku dan kedua temanku tetap aja asyik
bercerita, mumpung guru belum ada yang masuk kelas.
Aku
berdeham panjang. “Ya bisalah!” Aku tersenyum sambil mengingat-ingat tentang
cowok itu. “Tapi gue ketemu cowok! Nyebelin sih, tapi baik banget.”
“Nyebelin?
Baik? Gimana sih? Yang jelas dong!” omel Maureen.
Aku pun
menceritakan dengan detail kejadian di Bali
waktu itu. “Gituuuu…” Aku mengakhiri ceritaku sambil tersenyum cerah. “Tapi gue
nggak tau siapa namanya?”
“Ya lo
bukannya kenalan! Eh, cakep nggak?”
Aku cuma
senyam-senyum nggak jelas sambil membayangkan wajah cowok itu.
“Kin! Lo
jangan bengong sambil senyam-senyum gitu dong! Lo harus liat anak baru yang
masuk kelas kita!”
Anak baru?
Tadi Gia bilang apa? Ada anak baru di kelas? Astaga, sebegitu senengnya ya aku
saat membayangkan cowok itu? Sampai aku nggak sadar kalau guru sudah masuk
kelas dan membawa anak baru ke kelas.
Karena
penasaran aku pun melihat anak baru itu dan surpriseeee!
Cowok itu? Dia sedang berdiri di depan kelas di samping Bu Ani sambil tersenyum
tipis ke arahku. Jadi dia anak barunya? God,
listen my wish!
“Kangga
Williandra. Panggil aja Aga.” katanya singkat memperkenalkan diri.
Aku nggak
bisa menahan senyum. Tuhan mengabulkan doaku. Yah, cowok itu… Aga. “Aga, kamu
duduk di samping Kina, ya? Itu dia orangnya.” Bu Ani menunjuk ke arahku. Aga
pun berjalan menuju tempat duduknya, di sampingku. Aku menoleh ke arahnya nggak
percaya dengan sosoknya. Aku senang melihatnya ada di sini. Dia pun menoleh ke
arahku dan menatapku sinis.
“LO?”
“Menurut
lo?”
“Kok
bisa?”
“Hai Kina,
akhirnya ketemu lo lagi. Gue mau minta ganti uang yang lo pinjem waktu itu.”
Dia pun tersenyum lebar ke arahku.
Kami pun
tertawa nggak karuan hingga semuanya menoleh ke belakang, memperhatikan kami
dengan pandangan heran.
555
Tidak ada komentar:
Posting Komentar